Manajemen risiko yang efisien mensyaratkan adanya upaya untuk mengantisipasi risiko dan mengubahnya menjadi komponen yang sekecil mungkin. Kemudian mendesain instrumen keuangan disesuaikan dengan persyaratan profil return atas setiap komponen mikro risiko. Proses ini dikenal dengan istilah rekayasa keuangan (financial engineering). Proses relkayasa keuangan dimaksudkan untuk mendesain instrumen keuangan baru untuk pemanfaatan yang maksimal dalam alokasi dan mobilisasi sumber dana. Melakukan desain atas instrumen keuangan syariah merupakan salah satu tantangan yang sangat penting bagi institusi keuangan Islam dewasa in
Salah satu cara yang cukup efektif
atas penerapan rekayasa keuangan adalah dalam area hedging. Dewasa ini, dalam
dunia ekonomi internasional, hedging merupakan salah satu instrumen yang
penting dalam manajemen risiko . Dalam dunia keuangan, hedging disinyalir bisa
mereduksi ketidakstabilan nilai tukar atau harga instrumen keuangan lainnya
dalam pasar. Bagi individu, kegiatan bisnis dan institusi keuangan tidak bisa
mengabaikan instrumen alternatif ini dalam manajemen risiko yang dimiliki.
Karena, instrumen ini memiliki peran yang kuat untuk menahan terjadinya
kerugian yang substansial dan menghilangkan efek negatif yang besar dalam semua
kegiatan ekonomi.
Risiko nilai tukar bukanlah
merupakan sesuatu yang sering terjadi di zaman Rasulullah begitu juga di masa
khilafah ar-rasyidah. Nilai tukar antara uang koin emas dan perak dalam sistem
moneter bimetal yang berlaku, relatif stabil sekitar 10. Akan tetapi,
stabilitas nilai ini tidak berlanjut sampai sekarang ini. Dua mata uang logam
ini mengalami perbedaan penawaran dan permintaan dalam beberapa kondisi, yang
berakibat pada semakin meningkatnya ketidakstabilan harga. Rasionya terkadang
bergerak dibawah 20, 30, dan bahkan 50. Kondisi ketidakstabilan ini akan
memperburuk nilai mata uang (coin). Menurut Al-Maqrizi (w. 845/1442) dan Al-Asadi
(w. 854/1450), mata uang yang baik harus ditarik dari peredaran, fenomena ini,
sejak abad ke-16 dikenal dengan Gresham’s Law yang diadopsi (mengganti) dari
Al-Maqrizi atau Al-Asadi Law. Kondisi instabilitas ini menciptakan kesulitan
bagi setiap orang, dan tidak ditemukan solusi untuk melindungi individu dan
ekonomi dari efek negatif yang ditimbulkan.
Untuk mengatasi persoalan ini, dunia
keuangan berusaha menghilangkan standar bimetal (dua logam mulia) dan beralih
kepada standar emas dan kemudian standar nilai tukar karena adanya nilai
keseimbangan yang pasti. Namun demikian, kedua standar ini menciptakan
persoalan baru, dan perlu ditinggalkan pada kondisi nilai tukar mengambang
(floating exchange rate). Nilai keseimbangan yang pasti (fixed parities) juga berakibat pada terjadinya ketidakstabilan
dalam valuta asing. Selain itu, risiko yang ada juga mengakibatkan perdagangan
dan keuangan luar negeri menjadi tidak proporsional. Hal ini memungkinkan bagi
bank danb pelaku bisnis untuk mengelola risiko nilai tukar dan harga dengan
menyerahkan persoalan ini pada pihak yang mau menanggung risiko dengan biaya
tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar