Rika Al_Syafe'i

Minggu, 10 Juli 2011

Wara’

Rasulullah SAW.bersabda,” Jadilah orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah."
Menurut Sahal bin Abdullah wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang tidak pasti (subhat), yaitu hal-hal yang tidak berfaedah. Menurut as-Syibli wara’ merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak berkaitan dengan Allah SWT. Dan menurut imam al-Ghazali wara’ adalah menahan diri dari larangan Allah SWT.
Sesungguhnya orang yang mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, menjauhi larangan-Nya dan mengagungkan syi'ar-syi'ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah SWT. di dunia maupun di akhirat. Maka wara' di sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang meninggalkan banyak hal yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yang halal agar tidak merugikan agamanya.
Menurut Imam al-Ghazali wara’ ada tiga macam. Pertama, wara’ shidiqqin yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak ada dalil atau bukti kehalaannya. Kedua, wara’ muttaqiin yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak mengandung subhat tetapi dikhawatirkan membawa kepada yang haram. Dan yang ketiga adalah wara’ shalihin yaitu meninggalkan hal-hal yang boleh jadi halal atau haram, tetapi belum tentu menyehatkan atau baik untuk tubuh.
            Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara' adalah kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal ini, Rasulullah SAW. bersabda:
Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan, niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: “Dan sesungguhnya orang yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan).” (Sunan Abu Daud, kitab buyu’ (jual beli), bab ke-3 no. 3329).
Sifat wara' tercermin dalam menjaga diri terhadap berbagai keburukan dalam rangka menjaga kebaikan dan menjaga keimanan. Menjaga hati dari sesuatu yang buruk dan merupakan aib di hadapan sang kholiq dan di depan para malaikat mukarramin. Manakala bertambah kewaspadaan, maka di saat itu pula maksiat akan menjadi sedikit, dosa-dosa dan kejelekan menjadi berkurang.
Maka wara' yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin 'Ubaid rahimahullah: yaitu keluar dari semua yang subhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata. (Tahdzib Madarijus Salikin, hal. 290). Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW. beliau bersabda:"Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar