1. Pengelolaan Biaya Penyelenggaraan
Haji
Setiap
warga Indonesia yang hendak menunaikan ibadah haji wajib menyetorkan Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). BPIH
tersebut disetorkan melalui Bank Penerima Setoran (BPS) ke rekening Menteri
Agama. Untuk selanjutnya BPIH tersebut dikelola dengan mempertimbangkan nilai
manfaat yang didapat untuk membiayai belanja operasional penyelenggaraan ibadah
haji.
Dalam
rangka pembenahan penyelenggaraan ibadah haji, ada beberapa pembenahan yang
ditujukan agar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) lebh rasional dan lebih
proporsional, yaitu merasionalkan komponen direct
cost dan menoptimalkan indirect cost,
optimalisasi manfaat setoran awal BPIH, perubahan harga tiket dar sistem zona
ke sistem embarkasi, menghilangkan biaya seat penerbangan, meningkatkan
rasionalisasi pengeluaran dengan tetap meningkatkan kualitas layanan.
Kedepannya pengelolaan keuangan haji diarahkan lebih akuntabel dan transparan.[1]
Adapun
untuk mempertimbangkan nilai manfaat dari pengelolaan dana haji maka langkah
yang ditempuh oleh Kementrian Agama pada tahun 2009 ini adalah menempatkan dana
haji pada Sukuk Dana Haji Indonesia. Seperti yang telah disinggung di bab sebelumnya bahwa penerbitan Sukuk
Dana Haji Indonesia adalah hasil kesepakatan antara Kementrian Agama dan
Kementrian Keuangan.
Kementrian Agama menempatkan dana haji tersebut ke dalam Surat Berharga Syariah
Negara. Penempatan dana haji pada Surat Berharga Syariah Negara, termasuk ke
dalam Surat Berharga Syariah Negara jangka panjang dengan imbal hasil tetap
atau disebut dengan fix coupon.
Adapun Kementrian Keuangan menerbitkan Sukuk Dana Haji
itu sendiri yaitu dalam rangka pengembangan pasar syariah. Mengingat SBSN atau
sukuk merupakan salah satu instrumen
yang digunakan oleh pemerintah dengan maksud untuk memperluas sumber penerimaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Maka dengan diterbitkannya Sukuk Dana Haji Indonesia
akan menambah outstanding atau jumlah penerbitan Surat Berharga Syariah Negara,
dimana secara tidak langsung akan menambah penerimaan APBN.
2. Kaitan SDHI dengan Kebijakan
Defisit Anggaran Negara
Kebijakan defisit anggaran akan ditempuh oleh
pemerintah jika ternyata belanja atau pengeluaran pemerintah lebih besar
dibandingkan dengan pendapatan yang diterima.
Setelah puluhan tahun pemerintah Indonesia enggan
mengakui adanya defisit anggaran dan selalu menagatakannya sebagai anggaran
berimbang, akhirnya pada tahun 2000 defisit anggaran diakui secara eksplisit.[2]
Untuk
menutup defisit anggaran, pemerintah membuka opsi pendanaan melalui beberapa sumber, yaitu: [3]
1. Pinjaman
luar negeri dengan persyaratan lunak dan jangka panjang.
2. Membuka
akses sumber pembiayaan di pasr internasional sepsrti obligasi global dan sukuk global.
3. Mengutamakan
penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Rupiah di pasar dalam negeri.
Instrumen pembiayaan dalam negeri yang digunakan pemerintah Indonesia
adalah Surat Berharga Negara yang
terdiri dari Surat Utang Negara (berupa Surat Perbendaharaan Negara (SPN/T-Bills) dan Obligasi Negara (ORI, FR/VR Bond, Global Bond) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)/Sukuk Negara
baik SBSN berjangka pendek (Islamic
T-Bills) maupun jangka panjang (Ijarah Fixed
Rate, Global Sukuk, Sukuk Dana
Haji Indonesia).
Gambar
4.1 Instrumen Pembiayaan Negara
Jenis-jenis instumen di atas, oleh pemerintah
dikategorikan sebagai instrumen utang. Dimana penggunaan atau pengelolaan pada
masing-masing instrumen tersebut berbeda. Untuk penyalurannya, dikategorikan
menjadi lima, yaitu untuk pengelolaan kas negara, untuk pembiayaan defisit
negara, pembiayaan kegiatan negara, pengelolaan portofolio dan
pembiayaan-pembiyaan lain.
Seperti yang telah dijelaskan di atas tadi bahwa
pemerintah memiliki beberapa jenis instrumen pembiayaan negara. Jenis instrumen
pinjaman dimasukan ke dalam jenis
instrumen utang pemerintah, baik pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar
negeri.
Begitupula dengan Surat Berharga Negara, SUN maupun
Sukuk Negara. Dalam upaya pengelolaan utang dengan baik, maka pemerintah lebih
memprioritaskan penerbitan Surat Berharharga Negara karena lebih bisa
dikembangkan untuk pasar keuangan pemerintah. Mengenai pos-pos penyaluran atau
penggunaan jenis instrumen utang negara tersebut, secara lebih rinci dapat
dilihat pada tabel berikut ini
Gambar 4.2 Tabel Jenis Instrumen
Utang
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa jenis
instrumen utang pemerintah saat ini ada dua, yaitu:
Surat Berharga Negara, dibedakan menjadi:
1.
Surat
Utang Negara (SUN)
Penggunaan SUN jangka pendek yaitu dikelola untuk kas negara. Sedangkan
untuk SUN jangka panjang digunakan untuk pembiayaan defisit pemerintah,
pengelolaan portofolio, dan pembiayaan-pembiayaan krisis lainnya.
2.
Surat
Berharga Syariah Negara/Sukuk Negara
Penggunaan SBSN atau Sukuk Negara jangka pendek yaitu dikelola di kas
negara. Sedangkan SBSN jangka panjang digunakan untuk pembiayaan defisit,
pembiayaan kegiatan, dan pembiayaan-pembiayaan lainnya.
Dana haji yang masuk ke dalam kas negara akan dikelola
oleh bagian perbendaharaan negara. Dalam pengelolaann dan penggunaan Sukuk dana
haji di anggaran negara, tidak ada
prioritas ataupun penempatan khusus untuk pos apa.
Penggunaan dana-dana tersebut termasuk ke dalam general financing, yaitu penggunaan dana
untuk pembiayaan yang bersifat umum bukan untuk project financing, yaitu pembiayaan untuk jenis pembangunan proyek tertentu.[4]
Karena Sukuk Dana Haji Indonesia termasuk ke dalam
SBSN jangka panjang, dimana penggunaan SBSN jangka panjang adalah untuk
pembiayaan kegiatan dan pembiayaan defisit. Melihat pos penggunaan Sukuk Dana
Haji Indonesia adalah untuk general
financing dapat dikatakan bahwa Sukuk Dana Haji memang digunakan untuk
pembiayaan defisit. Bukan untuk pembangunan proyek tertentu.
Hingga tahun 2010, defisit APBN memang tidak bisa
dielakan,. Sumber penerimaan terbesar untuk pembiayaan defisit APBN sendiri
adalah Surat Berharga Negara, untuk lebih jelas bias dilihat di grafik di bawah
ini:
Gambar
4.3 Grafik Perkembangan Penerimaan Pembiayaan
dan Defisit APBN
Sumber:
Materi Sukuk Goes to Campus, Jakarta 7 Mei 2010
Dari grafik di atas dapat dijelaskan bahwa dari tahun
ke tahun Indonesia selalu mengalami defisit. Lonjakan defisit yang sangat
tinggi terjadi pada tahun 2009.
Pada tahun anggaran 2009, kebijakan defisit anggaran
lebih diarahkan untuk konsolidasi fiskal dengan tetap mempertahankan adanya
stimulus bagi perekonomian. Defisit pada tahun 2009 adalah 1,5 persen terhadap
PDB, lebih rendah 0,6 persen dibandingkan target defisit pada perubahan APBN
tahun 2008. [5]
Penurunan defisit tersebut sejalan dengan usaha untuk meningkatkan penerimaan negara, upaya penurunan belanja subsidi terutama melalui
pengendalian konsumsi BBM bersubsidi dan listrik, serta upaya untuk membagi beban yang dihadapi antara
Pemerintah pusat dan derah melalui reformulasi dana perimbangan yang lebih
adil. Defisit yang mencapai 1,5 persen terhadap PDB tersebut, sebagaimana
kecenderungan beberapa tahun terakhir, akan lebih banyak dipenuhi dari utang
terutama penerbitan surat berharga.
Pada grafik di atas dapat
dilihat posisi surat berharga dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan.
Dalam grafik tersebut, yang digambarkan adalah surat berharga neto.
Surat
Berharga Neto adalah selisih antara SBN yang diterbitkan dengan SBN yang jatuh
tempo dan yang dibeli kembali. Mengingat target pembiayaan SBN dalam APBN
ditetapkan dalam bentuk penerbitan SBN Neto, maka Pemerintah memiliki
fleksibilitas untuk menentukan jumlah penerbitan SBN dan jumlah pembelian
kembali.[6]
Penerimaan pembiayaan memang lebih banyak didominasi
oleh surat berharga dibandingkan dengan pinjaman luar negeri serta dalam negeri
dan sumber non utang lainnya.
Hal tersebut selaras dengan kebijakan yang diambil
pemerintah bahwa lebih memprioritaskan SBN dibanding utang luar negeri dan
dalam negeri dengan alasan membantu pemerintah agar tidak terlalu
ketergantungan dengan utang itu sendiri.
Selain itu pinjaman luar negeri juga hanya dibatasi
untuk pinjaman lunak pembangunan infrastruktur dan energi, perubahan iklm, dan
proyek pembangunan lainnya seperti kesehatan dan pendidikan[7]
Untuk lebih jelasnya, mengenai penerbitan Surat
Berharga Negara dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Gambar 4.4 Tabel Realisasi
Penerbitan SBN 2010
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa realisasi
penerbitan Surat Berharga Negara adalah sebesar 57,5 Triliun dengan komposisi
Surat Berharga Syariah Negara sebesar 24,5 Triliun. Dari total SBSN tersebut,
Sukuk Dana Haji Indonesia menyumbang sebesar 10,7 Triliun.
Itu
artinya Sukuk Dana Haji Indonesia telah menyumbang sebesar 44,5% dari dari total penerbitan SBSN.
Nominal tersebut bisa dikatakan cukup besar mengingat Sukuk Dana Haji tergolong
baru dan belum genap dua tahun berjalan.
Nilai kupon SDHI tercatat antara 7,55-8,52
% dengan
tenor dua belas bulan
bulan sampai dengan tiga tahun yang disesuaikan dengan kebutuhan Kementerian
Agama.
Sampai saat ini memiliki jumlah
imbalan yang sudah dibayarkan sebelum pajak sekitar Rp 252,3 miliar. Dengan potongan
pajak sebesar Rp 47,1 miliar, maka neto hasil investasi yang diperoleh adalah
Rp 205,2 miliar.[8]
Dari total Sukuk Dana Haji yang diterbitkan, sudah ada
3 jenis yang jatuh tempo. Dari ketiga jenis tersebut, diperoleh hasil
perhitungan kupon sebagai berikut:
No.
|
Seri
|
Tgl Terbit
|
Tgl Jatuh Tempo
|
Tgl Bayar Kupon
|
Kupon
|
Nominal Sukuk
|
|
1
|
SDHI 2010 A
|
07-Mei-09
|
07-Mei-10
|
tgl 7/bulan
|
8,52%
|
Rp1.500.000.000.000
|
|
2
|
SDHI 2010 B
|
24-Jun-09
|
07-Mei-10
|
tgl 7/bulan
|
7,38 %
|
Rp 850.000.000.000
|
|
3
|
SDHI 2010 C
|
24-Jul-09
|
24-Aug-10
|
Tgl 24/bulan
|
7,89%
|
Rp 336.000.000.000
|
Gambar
4.5 Tabel Sukuk Dana Haji Jatuh Tempo
Perhitungan jumlah kupon yang
diterima dengan pengurangan pajak sebesar 15%:
SDHI
2010 A
Rp
90.545.000.000
SDHI
2010 B
Rp 471.431.000.00
SDHI
2010 C
Rp 1.877.820.000
Dapat
dikatakan bahwa Sukuk Dana Haji Indonesia sebagai salah satu instrumen
pembiayaan negara memiliki beberapa kelabihan dibandingkan dengan dana haji yang diletakan di
deposito perbankan, yaitu:
1.
Memberikan imbalan tetap (fix return), yaitu imbalan diberikan
secara periodik. Imbal balik yang diberikan oleh Sukuk Dana Haji Indonesia
adalah fixed coupon yang disepakat di
awal akad (predetermined) dan
dibayarkan secara periodik setiap bulannya.
2.
Investasi yang aman, yaitu pembayaran
imbalan dan nilai nominal dijamin oleh negara dalam Undang-Undang No.19 Tahun
2008 dan Undang-Undang APBN setiap tahunnya.
3.
Pajak terhadap imbalan SBSN (15%) lebih
kecil daripada pajak terhadap bagi hasil deposito (20%).
Kaitan
SBSN dengan instrumen pembiayaan negara yaitu bahwa SBSN dikategorikan sebagai
instrumen kebijakan fiskal khusus, yakni konsep pengelolaan keuangan negara
dimaksudkan untuk mendapatkan sejumlah dana dari para investor untuk pembiayaan
APBN dengan menyertakan Underlying Asset.
3.
Pengelolaan Utang Negara
Untuk
membiayai keadaan negara yang mengalami defisit, cara yang ditempuh adalah
dengan meningkatkan penerimaan negara melalui pajak atau dengan utang, baik
yang berasal dari masyarakat ataupun pihak lain dengan cara penerbitan
obligasi.
Berdasarkan data Dirjen Pengelolaan
Hutang, dalam APBN-P 2010 defisit anggaran mencapai 2,1% terhadap GDP atau
sekitar Rp 133,7 T dengan GDP Rp 5.393,77 T (2009). Sementara rasio total utang
terhadap GDP nominal asumsi APBN-P 2010 mencapai 26%.[9]
Bisa
dikatakan selama periode 1997 hingga 2009, tepatnya hingga sekarang.
Pemerintah hampir selalu
mengandalkan utang dalam negeri berupa penerbitan surat-surat berharga atau
obligasi pemerintah.
Dalam buku Laporan Pertanggungjawaban Pengelolaan
Surat Berharga Negara tahun 2009, disebutkan bahwa kebijakan
penerbitan SBSN dilakukan dalam rangka perluasan basis investor, diversifikasi
sumber pembiayaan, dan pengembangan pasar keuangan dalam negeri, instrumen keuangan ini pada
prinsipnya sama seperti surat berharga konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan
konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi
pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu aset yang
menjadi dasar penerbitan sukuk, serta adanya aqad atau penjanjian antara
para pihak berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Kaitannya dengan hal tersebut, dalam kebijakan
Pengelolaan Utang tahun 2008-2010 disebutkan pula bahwa tujuan pengelolaan
utang salah satunya adalah diversivikasi sumber pembiayaan termasuk pengembangan
instrumen pembiayaan syariah.[10]
Berikut ini gambaran utang negara hingga tahun 2010:
Gambar 4.6 Gambaran Utang
Negara
Sumber: Buku Saku Perkembangan Utang
Negara(Oktober 2010)
Dari grafik
di atas terlihat bahwa memang hutang pemerintah hingga tahun 2010 yang berasal
dari penerbitan surat berharga negara lebih tinggi, yaitu sebesar 64 %
dibandingkan dengan hutang dari pinjaman luar negeri yang sebesar 36 %. Serta
dapat dilihat pula bahwa dari tahun ke tahun perkembangan utang negara melalui
Surat Berharga Negara mengalami kenaikan.
Berhutang negara secara logis
disebabkan oleh jumlah pengeluaran melebihi kapasitas penerimaannya. Sehingga,
defisit terpaksa dibiayai melalui hutang pemerintah yang besarannya
dijabarkan secara detail pada neraca anggaran belanja.[11]
Pada
dasarnya, pola
defisit yang bersumberkan
dari hutang
bersifat menambal bukan membangun. Selain itu, pembiayaan
defisit bukan didasarkan untuk penggunaan yang produktif, namun membiayai aktivitas non-profit bahkan tidak
produktif. Ke depan pengekalan pola semacam ini akan merobohkan sendi-sendi dan
daya dukung fiskal terhadap pembangunan ekonomi nasional, terlebih upaya
mendukung kehidupan rakyat. Jadi, pola belanja negara demikian telah
memberikan kerentanan pada aspek ketahanan stabilitas fundamental dan rentan
terjebak pada perangkap hutang (trap of
debt).
Kalau
dalam ekonomi Islam, utang itu sah, tapi bukan kegiatan yang disukai atau
dianjurkan. Sedapat mungkin harus dihindari. Justru yang diajarkan dalam Islam itu
adalah kita harus menyiapkan diri.[12]
Akantetapi, walau bagaimanapun juga,
penghapusan defisit fiskal tetap menjadi harapan kosong selama
penyebab-penyebab utama defisit itu tidak dihapuskan.
Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam rangka kebijakan fiskal tersebut adalah adalah
sebagai berikut: [13]
1. Ketidakmampuan
atau ketidaksediaan pemerintah untuk meningkatkan pembiayaan yang memadai
melalui perpajakan dan sumber-sumber pemasukan inflasioner lainnya untuk
memenuhi pengeluaran produktif dan penting lainnya.
2. Kurangnya
kesediaan pada sisi pemerintah untuk mengeliminasi atau mereduksi secara
substansial pengeluaran mereka yang mubazir dan tidak produktif.
B. Kelebihan dan Kekurangan Sukuk Dana
Haji Indonesia
Pada
dasarnya sukuk dana haji indonesia disemangati oleh kedua belah pihak, yaitu
kepentingan Kementrian Agama dan Kementrian Keuangan.[14]
Kelebihan
yang didapat dari penempatan dana haji ke sukuk dana haji indonesia dari sisi
Kementrian Agama diantaranya yaitu :
1. Menghindari
sistem risk perbankan
Sebelum
ditempatkan pada sukuk dana haji Indonesia, dana haji ditempatkan di deposito
perbankan. Dari sekian triliun dana haji yang masuk ke perbankan, hanya senilai
2 miliar. Sekiranya perbankan mengalami collaps
maka uang dana haji senilai sekian triliun tidak ada yang menjamin.
Untuk
alasan-alasan yang kuat, pinjaman
pemerintah jauh lebih aman dan dapat dipertanggungjawabakan daripada
didepositokan di bank. Pemerintah lebih dapat dipercaya dan janjinya lebih
dapat diyakini daripada bank karena peminjam mempunyai jaminan dari pemerintah
akan kembalinya uang pinjaman itu tepat pada waktu yang telah dijanjikan.
Dan diantara beberapa orang, dengan kondisi
semacam itu lebih senang pada pinjamn pemerintah daripada pada bank lain
sebagai tujuan utama mereka menyimpan uang. Di samping itu tindakan semacam ini
merupakan perbuata amal,
Karena mereka akan membantu pemerintah demi kebaikan seluruh masyarakat.[15]
2. Lebih
terjamin dari sisi kesyariahannya
Dengan
ditempatkannya dana haji pada sukuk dana haji Indonesia akan lebih terjamin
dari segi kesyariahannya. Selama ini, dana haji yang ditempatkan di 21 bank
bisa diasumsikan tidak semuanya bank-bank tersebut adalah bank syariah.
Sehingga dengan ditempatkannya dana haji pada sukuk tentu tidak akan
menghawatirkan karena sejak awal sudah ada akd yang jelas.
3. Merupakan
tempat investasi yang bebas default (gagal bayar)
Dilihat
dari sisi Kementrian Agama sebagai investor, dengan menempatkan dana haji pada
sukuk dana haji indonesia merupakan keptusan yang tepat. Karena hal pertama yang
akan dipertimbangkan oleh investor saat
akan menempatkan dananya adalah default risk, karena sukuk ini milik pemerintah
maka default risk nya tida ada. Karena seluruh dana dijamin oleh pemerintah.
Dari
sisi Kementrian Keuangan tentu juga mendatangkan manfaat, diantaranya yaitu:
1. Sumber
pendanaan baru
Dengan
ditempatkannya dana haji pada sukuk dana haji indonesia menjadi sumber
pembiayaan baru bagi pemerintah untuk membiayai APBN
2. Efisiensi
sektor keuangan
Dengan
menempatkan dana haji langsung pada sukuk tentu akan lebih efisien karena dana
langsung masuk ke kas negara dan pengelolaannya diatur langsung oleh
perbendaharaan negara. berbeda ketika dana ditempatkan di sektor perbankan baru
kemudian ditempatkan di surat berharga negara, hal tersebut akan menimbulkan
tambahan spread karena ada tambahan efisiensi.
3. Tambahan
investor
Dengan
ditempatkannya dana haji pada sukuk dana haji indonesia tentunya telah menambah
basis
investor baru bagi kementrian keuangan. Dengan bertambahnya investor maka akan
menambah masukan bagi pembiayaan pemerintah.
Adapun beberapa kekurangan pada Sukuk Dana Haji
Indonesia adalah:
1.
Mengurangi
Jumlah Dana Pihak Ketiga Bank Syariah
Pada aplikasinya, sukuk haji
ternyata menarik dana haji yang terkumpul dalam DPK (dana pihak ketiga) bank syariah,
dana yang selama ini mampu diserap dan membesarkan DPK bank syariah. Dana haji
tersebut sedikit banyak telah pula mampu meningkatkan kapasitas produksi bank
syariah[16]
Dana
triliunan itu ditarik, baik dari bank syariah maupun bank konvensional, untuk
diletakkan dalam portfolio sukuk haji. Bagi bank konvensional yang telah
memiliki size asset atau DPK cukup besar penarikan ini relative tidak
mengganggu, tetapi dengan size bank syariah yang masih kecil, kebijakan
Kementerian Agama ini tentu akan mengganggu irama perkembangan bank-bank
syariah.
2. Keraguan pada pengelolaannya
Dari segi pengelolaannya di kas perbendaharaan negara
ada sedikit kekhawatiran. Yaitu sukuk dana haji itu sendiri digunakan untuk general financing.[17]
Jadi ketika dana haji masuk ke kas negara maka akan
dikelola oleh bagian perbendaharaan negara. Di bagian tersebut tidak ada
klasifikasi atau pemisahan dana haji diagaunakan untuk apa. Tetapi dijadikan
satu dengan dana-dana lain untuk kemudian digunakan untuk general financing
tersebut. Secara syariah, hal tersebut menimbulkan keragu-raguan akan
bercampurnya dana tersebut dengan dana non sukuk.
[1]
Sekretaris Jenderal Kementrian Agama,
Manajemen Penyelenggaraan Ibadah Haji, disampaikan pada Workshop
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah tanggal 29 Desember 2010.
[4] Agus P. Laksono, Staff Direktorat Pembiayaan
Syariah-Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementrian Keuangan, Wawancara Pribadi, Jakarta, 18 Oktober
2010
[5]
Pembiayaan Defisit Anggaran, Pengelolaan
Utang, dan Risiko Fiskal, diakses dari
http://docs.google.com/viewer?url=http://www.anggaran.depkeu.go.id/Content/08-08-15,+BAB+VI.pdf&chrome=true tanggal 23 Oktober 2010
[6] Laporan
Pertanggungjawaban Pengelolaan Surat Berharga Negara tahun 2009
[7] Pengelolaan Utang Pemerintah RI, diakses pada tanggal 22 November 2010 dari http://www.dmo.or.id/dmodata/6Publikasi/4Presentasi/Presentasi_diskusi)dirjenPU_dengan_forkem_19April2010.pdf
[8] Rahmat Waluyanto, Pemerintah Kembali Terbitkan Sukuk, artikel diakses pada 17 Mei
2010 dari http://republika.co.id
[9]
Dimas Bagus W.K., Telaah Kritis Budaya Berhutang
Indonesia, diakses pada 23 Oktober 2010 dari http://suarapembaca.detik.com/read/2010/07/07/181558/1395067/471/telaah-kritis-budaya-berhutang-indonesia
[10] Agus P. Laksono, Sukuk Negara (SBSN) Instrumen Pembiayaan
dan Investasi Berbasis Syariah, disampaikan pada Materi Sukuk Goes to
Campus, Jakarta 7 Mei 2010
[11] Dimas Bagus W.K., Telaah
Kritis Budaya Berhutang Indonesia, diakses pada 23 Oktober 2010 dari http://suarapembaca.detik.com/read/2010/07/07/181558/1395067/471/telaah-kritis-budaya-berhutang-indonesia
[12] Mustafa Edwin
Nasution, Kritik Ekonomi Islam terhadap APBN,
Majalah Sharing edisi 35 tahun IV (November
2009), h: 12
[14] Agus P. Laksono, Staff Direktorat Pembiayaan
Syariah-Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementrian keuangan RI, Wawancara Pribadi, Jakarta, 18 Oktober
2010.
[15] Afzalur Rahman, Doktrin
Ekonomi Islam jilid 4 (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf,
2003), h.
506.
[16]
Ali Sakti. Kanibalisme
Keuangan Syariah, diakses pada 23 Oktober 2010 dari http://abiaqsa.blogspot.com/
[17] Agus P. Laksono, Staff Direktorat Pembiayaan Syariah-Direktorat
Jenderal Pengelolaan Utang Kementrian Keuangan RI, Wawancara Pribadi, Jakarta, 18 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar