Rika Al_Syafe'i

Rabu, 01 September 2010

AKHLAK

AKHLAK

oleh Rika Rovikoh pada 01 September 2010 jam 11:13
PENGERTIAN AKHLAK
Pengertian Akhlak Akhlak dari kata Al-Akhlak, jamak dari Al-khuluq yang artinya kebiasaan, perangai, tabiat dan agama.

Menurut Al Gazali, kata akhlak sering diidentikkan dengan kata kholqun (bentuk lahiriyah) dan Khuluqun (bentuk batiniyah), jika dikaitkan dengan seseorang yang bagus berupa kholqun dan khulqunnya, maka artinya adalah bagus dari bentuk lahiriah dan rohaniyah. Dari dua istilah tersebut dapat kita pahami, bahwa manusia terdiri dari dua susunan jasmaniyah dan batiniyah. Untuk jasmaniyah manusia sering menggunakan istilah kholqun, sedangkan untuk rohaniyah manusia menggunakan istilah khuluqun. Kedua komponen ini memilih gerakan dan bentuk sendiri-sendiri, ada kalanya bentuk jelek (Qobi’ah) dan adakalanya bentuk baik (jamilah). Akhlak yang baik disebut adab. Kata adab juga digunakan dalam arti etiket, yaitu tata cara sopan santun dalam masyarakat guna memelihara hubungan baik antar mereka.

Akhlak disebut juga ilmu tingkah laku / perangai (Imal-Suluh) atau Tahzib al-akhlak (Filsafat akhlak), atau Al-hikmat al-Amaliyyat, atau al-hikmat al- khuluqiyyat. Yang dimaksudkan dengan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa untuk mensucikannya. Dalam bahasa Indonesia akhlak dapat diartikan dengan moral, etika, watak, budi pekertim, tingkah laku, perangai, dan kesusilaan.

Ruang Lingkup Akhlak a) Akhlak pribadi Yang paling dekat dengan seseorang itu adalah dirinya sendiri, maka hendaknya seseorang itu menginsyafi dan menyadari dirinya sendiri, karena hanya dengan insyaf dan sadar kepada diri sendirilah, pangkal kesempurnaan akhlak yang utama, budi yang tinggi. Manusia terdiri dari jasmani dan rohani, disamping itu manusia telah mempunyai fitrah sendiri, dengan semuanya itu manusia mempunyai kelebihan dan dimanapun saja manusia mempunyai perbuatan.

b) Akhlak Berkeluarga Akhlak ini meliputi kewajiban orang tua, anak, dan karib kerabat. Kewjiban orang tua terhadap anak, dalam islam mengarahkan para orang tua dan pendidik untuk memperhatikan anak-anak secara sempurna, dengan ajaran –ajaran yang bijak, islam telah memerintahkan kepada setiap oarang yang mempunyai tanggung jawab untuk mengarahkan dan mendidik, terutama bapak-bapak dan ibu-ibu untuk memiliki akhlak yang luhur, sikap lemah lembut dan perlakuan kasih sayang. Sehingga anak akan tumbuh secara istiqomah, terdidik untuk berani berdiri sendiri, kemudian merasa bahwa mereka mempunyai harga diri, kehormatan dan kemuliaan.

Seorang anak haruslah mencintai kedua orang tuanya karena mereka lebih berhak dari segala manusia lainya untuk engkau cintai, taati dan hormati. Karena keduanya memelihara,mengasuh, dan mendidik,menyekolahkan engkau, mencintai dengan ikhlas agar engkau menjadi seseorang yang baik, berguna dalam masyarakat, berbahagia dunia dan akhirat. Dan coba ketahuilah bahwa saudaramu laki-laki dan permpuan adalah putera ayah dan ibumu yang juga cinta kepada engkau, menolong ayah dan ibumu dalam mendidikmu, mereka gembira bilamana engkau gembira dan membelamu bilamana perlu. Pamanmu, bibimu dan anak-anaknya mereka sayang kepadamu dan ingin agar engkau selamat dan berbahagia, karena mereka mencintai ayah dan ibumu dan menolong keduanya disetiap keperluan.

c) Akhlak Bermasyarakat Tetanggamu ikut bersyukur jika orang tuamu bergembira dan ikut susah jika orang tuamu susah, mereka menolong, dan bersam-sama mencari kemanfaatan dan menolak kemudhorotan, orang tuamu cinta dan hormat pada mereka maka wajib atasmu mengikuti ayah dan ibumu, yaitu cinta dan hormat pada tetangga.

Pendidikan kesusilaan/akhlak tidak dapat terlepas dari pendidikan sosial kemasyarakatan, kesusilaan/moral timbul didalam masyarakat. Kesusilaan/moral selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Sejak dahulu manusia tidak dapat hidup sendiri–sendiri dan terpisah satu sama lain, tetapi berkelompok-kelompok, bantu-membantu, saling membutuhkan dan saling mepengaruhi, ini merupakan apa yang disebut masyarakat. Kehidupan dan perkembangan masyarakat dapat lancar dan tertib jika tiap-tiap individu sebagai anggota masyarakat bertindak menuruti aturan-aturan yang sesuai dengan norma- norma kesusilaan yang berlaku.

d) Akhlak Bernegara Mereka yang sebangsa denganmu adalah warga masyarakat yang berbahasa yang sama denganmu, tidak segan berkorban untuk kemuliaan tanah airmu, engkau hidup bersama mereka dengan nasib dab penanggungan yang sama. Dan ketahuilah bahwa engkau adalah salah seorang dari mereka dan engkau timbul tenggelam bersama mereka.

e) Akhlak Beragama Akhlak ini merupakan akhlak atau kewajiban manusia terhadap tuhannya, karena itulah ruang lingkup akhlak sangat luas mencakup seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan Tuhan, maupun secara horizontal dengan sesama makhluk Tuhan.

Berangkat dari sistematika diatas dengan sedikit modifikasi penulis membagi pembahasan ruang lingkup akhlak antar lain: 1. Akhlak terhadap Allah SWT 2. Akhlak terhadap Rasullah Swt 3. Akhlak Pribadi 4. Akhlak dalam keluarga 5. Akhlak bermasyarakat 6. Akhl;ak bernagara

Dalam konsep akhlak segala sesuatu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela, semata-mata karena syara (Qu’an dan Sunah) yang menilainya demikian. Namun akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jikqa etika dibatasi pada sopan santun antar sesame manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.

Pembinaan Akhlak Pembinaan adalah suatu usaha untuk membina. Membina adalah memelihara dan mendidik, dapat diartikan sebagai bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.

Anak didik adalah anak yang masih dalam proses perkembangan menuju kearah kedewasaan. Hal ini berarti bahwa anak harus berkembang menjadi manusia yang dapat hidup dan menyesuaikan dari dalam masyarakat, yang penuh dengan aturan-aturan dan norma-norma kesusilaan. Oleh karena itu perlulah anak di didik, dipimpin kearah yang dapat dan sanggup hidup menuruti aturan-aturan dan norma-norma kesusilaan. Jadi maksud dari tujuan pendidikan akhlak atau kesusilaan adalah memimpin anak setia serta mengerjakan segala sesuatu yang baik dan meninggalkan yang buruk atas kemauan sendiri dalam segala hal dan setiap waktu.

Pada masa sekarang ini demoralisasi telah merajalela dalam kehidupan masyarakat, maka dari itu diperlukan usaha-usaha pendidikan dalam mengupayakan pembinaan akhlak terutama pada masa remaja, karena pada masa pubertas dan usia baligh anak mengalami kekosongan jiwa yang merupakan gejala kegoncangan pikiran, keragu-raguan, keyakinan agama, atau kehilangan agama. Menurut Al-Gazaly adalah menunjukkan suatu hikmah bahwa anak puber tersebut memerlukan bekal untuk mengisi kekosongan jiwanya melalui sublimasi dan “way out” dari problema yang dihindarinya.

Metode Pendidikan Akhlak Yang dimaksud dengan metode disini ialah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik. Adapun metode Islam dalam upaya perbaikan terhadap akhlak adalah mengacu pada dua hal pokok, yakni pengajaran dan pembiasaan. Yang dimaksud dengan pengajaran adalah sebagai dimensi teoritis dalam upaya perbaikan dan pendidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan pembiasaan untuk dimensi praktis dalam upaya pembentukan (pembinaan) dan persiapan.

Ali Kholil Abu’Ainin didalam kitabnya : Falsafahtul Tarbiyatul Islamiyahtu Al-Qur’anil karim” mengemukakan secara panjang lebar tentang metode pendidikan Islam, yang diringkasnya menjadi 11 (sebelas) macam, yaitu : 1. Pengajaran tentang cara beramal dan pengalaman / ketrampilan. Metode ini dapat dilakukan melalui ibadah shalat, zakat, puasa, haji dan ijtihad. 2. Mempergunakan akal 3. Contoh yang baik dan jujur 4. Perintah kepada kebaikan, larangan perbuatan munkar saling berwasiat kebenaran, kesabaran dan kasih sayang. 5. Nasihat-nasihat 6. Kisah-kisah 7. Tamsil 8. Menggemarkan dan menakutkan atau dorongan dan ancaman. 9. Menanamkan atau menghilangkan kebiasaan. 10. Menyalurkan bakat. 11. Peristiwa-peristiwa yang berlalu.

Menurut al-nahlawi metode pendidikan yang diajurkan, antara lain : 1. Metode Hiwar Qur’ani dan Nabawi Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki (dalam hal ini oleh guru). Dalam percakapan itu bahan pembicaraan tidak dibatasi, dapat digunakan berbagai konsep sains, filsafat, seni, wahyu, dll. Kadang-kadang pembicaraan sampai pada satu kesimpulan, kadang-kadang tidak sampai pada kesimpulan, karena salah satu pihak tidak puas terhadap pendapat pihak lain. Yang manapun ditemukan hasilnya dari segi pendidikan tidak jauh berbeda, masing-masing mengambil pelajaran untuk menentukan sikap pada dirinya.

Metode Hiwar pada saat ini masih efektif dipakai dalam belajar mengajar, yakni sama dengan diskusi pada zaman sekarang ini, dan memang cukup efektif untuk melatih anak didik lebih mandiri karena mereka dapat berdialog dari hasil bacaan mereka sendiri pada tema yang telah di tentukan oleh gurunya.


2. Metode kisah Qur’ani dan Nabawi Dalam pendidikan Islam, terutama pendidikan agama Islam (sebagai suatu bidang studi), kisah sebagai suatu metode pendidikan amatlah penting, untuk dapat merenungkan kisahnya, yang menyentuh hati umat manusia. Kisah Qur’ani adalah untuk mendidik perasaan keimanan.

3. Metode amtsal (perumpamaan) Metode ini banyak kita temui dalam Al-qur’an, antara lain :

Dalam surah Al-Baqarah ayat 17. Perumpamaan orang-orang kafir itu adalah seperti orang yang menyalakan api. مثلهم كمثل الذي استو قدنارا فلما اضأت ما حوله ذهب الله بنورهم وتركهم فى ظلمت لايبصرون Dalam surah Al-Ankabut ayat 41 Allah mengumpamakan sesembahan atau Tuhan orang kafir dengan sarang laba-laba, Perumpamaan orang-orang yang berlindung kepada selain Allah atau seperti laba-laba yang membuat rumah, padahal rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba.

مثلهم الذين اتخذوا من دون الله اوليأ كمثل المنكبوت اتخذت بيتا وان اوهن البيوت لبيت المنكبوت لوكانوا يعلمون Kebaikan dari metode ini adalah : a) Memudahkan siswa memahami konsep yang abstrak. b) Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat dalam perumpamaan tersebut. c) Merupakan pendidikan agar bila menggunakan perumpamaan haruslah logis dan mudah dipahami. d) Perumpamaan Qur’ani dan Nabawi memberikan motivasi kepada pendengarnya untuk berbuat amal baik dan menjauhi kejahatan.

4. Metode Teladan Secara psikologis anak menang senang meniru, tidak saja yang baik, yang jelekpun ditirunya. Dalam teori tabula rasa (John Lock dan Francis Bacon), bahwa anak yang baru dilahirkan dapat di umpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum ditulisi, segala kecakapan dan pengetahuan manusia timbul dari pengalaman yang masuk melalui alat indra.

5. Metode Pembiasaan Inti dari pembiasaan adalah pengulangan, metode mendidik anak murid pada masa kini. Yang menetapkan bahwa dengan cara mengulang –ngulangi pengalaman dalam berbuat sesuatu dapat meninggalkan kesan-kesan yang baik dalam jiwanya, dan dari aspek inilah anak akan mendapatkan kenikmatan pada waktu mengulang-ngulangi pengalaman yang baik itu, berbeda dengan pengalaman-pengalaman tanpa melalui praktik.

6. Metode Ibrah dan mau’idah Ibrah ialah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang menyebabkan hati mengakuinya. Adapun Mu’idah ialah nasihat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya.

7. Metode Targib dan Tarhib Targib ialah janji terhadap kesenangan, kenilematan akhirat yang disertai bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan.

Sedangkan menurut Prof. Dr.H.M Arifin Med, bahwa dalam Al-Qur’an dan sunah nabi dapat ditemukan metode-metode untuk pendidikan agama, antara lain : a) Perintah / larangan b) Cerita tentang orang-orang yang taat dan orang-orang yang berdosa (kotor) serta akibat-akibat dari perbuatannya. c) Peragaan, misalnya manusia disuruh melihat kejadian dalam alam ini, dengan melihat gunung, laut, hujan, tumbuhan dan sebagainya. d) Instruksional (bersifat pengajaran), misalnya menyebutkan sifat-sifat orang yang beriman, begini dan begitu dan lain sebainya. e) Acquisition (self : aducation), misalnya menyebutkan tingkah laku orang yang munafik itu merugikan diri mereka sendiri, dengan maksud manusia jangan menjadi munafik dan mau mendidik dirinya sendiri kearah iman yang sesungguhnya. f) Mutual Education (mengajar dalam kelompok), misalnya nabi mengajar sahabat tentang cara-cara sembah yang dengan contoh perbuatan yang mendemonstrasikannya. g) Exposition (dengan menyajikan) yang didahului dengan motivasion (menumbuhkan minat) yakni dengan memberikan muqodimah lebih dahulu, kemudian baru menjelaskan pelajarannya. h) Function (pelajaran dihidupkan dengan praktek) misalnya nabi mengajarkan tentang hukum-hukum dan syarat-syarat haji, kemudian nabi bersama-sama untuk mempraktekannya. i) Explanation (memberi penjelasan tentang hal-hal yang kurang jelas) misalnya nabi memberi penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, seperti ayat-ayat yang memerintahkan bersembahyang dan sebagainya.

Konsep pendidikan modern saat ini sejalan dengan pandangan al-Gazaly tentang pentingnya pembiasaan melakukan suatu perbuatan sebagai suatu metode pembentukan akhlak yang utama, terutama karena pembiasaan itu dapat berpengaruh baik terhadap jiwa manusia, yang memberikan rasa nikmat jika diamalkan sesuai dengan akhlak yang telah terbentuk dalam dirinya.

Begitu juga metode mendidik anak pada masa kini yang menetapkan bahwa dengan cara mengulang-ulangi pengalaman dalam berbuat sesuatu dapat meninggalkan kesan-kesan yang baik dalam jiwanya, dan dari aspek inilah anak akan mendapatkan kenikmatan pada waktu mengulang-ulangi pengalaman yang baik itu, berbeda dengan pengalaman yang diperoleh dengan tanpa melalui praktek, maka kesan yang ditinggalkan adalah jelek.

Pandangan Al-Gazaly tersebut sesuai dengan pandangan ahli pendidikan Amerika Serikat, John Dewey, yang mengatakan “Pendidikan moral itu terbentuk dari proses pendidikan dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh murid secara terus menerus”.

Oleh karena itu pendidikan akhlak menurut John Dewey adalah pendidikan dengan berbuat dan berkegiatan (learning by doing) yang terdiri dari pada tolong menolong, berbuat kebajikan dan melayani orang lain, dapat dipercaya dengan jujur. John Dewey berpendapat bahwa akhlak (moralitas) tidak dapat diajarkan kepada anak dengan melalui cerita-cerita yang dikisahkannya, akan tetapi hanya dapat diajarkan melalui praktek yang manusiawi saja. Sehingga kebajikan dan moralitas dan pengertian yang terkandung didalam cerita-cerita tidak mungkin dipindahkan (transformasikan) kedalam jiwa anak untuk menjadi akhlaknya, yang kemudian berinteraksi dengan anak lain berdasarkan atas pemeliharaan keutamaan-keutamaannya, akhlak (moralitas) hanya dapat diajarkan dengan cara membiasakan dengan perbuatan praktis.

Tujuan Pembinaan Akhlak Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika diatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terlebih dahulu serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa). a) Akhlak Terhadap Allah Titik tolak akhlak terhadap Allah atau pengukuran dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji, demikian Agung sifat terpuji itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjunjungkan hakikatnya.

b) Akhlak Terhadap Sesama Manusia Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur’an berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta hati dengan jalan menceritakan aib seseorang dibelakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu. قول معروف ومغفرة خير من صدقة يتبعهاازى والله غني حليم ( البقره 2/: 263) Artinya : “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima)”. (Q.S. Al-Baqarah/2 : 263).

Disisi lain Al-Qur’an menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukan secara wajar. Nabi Muhammad SAW, misalnya dinyatakan sebagai manusia yang sempurna, namun dinyatakan pula sebagai Rosul yang memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Karena itu Al-Qur’an berpesan kepada orang-orang mukmin.

SEJARAH PERTUMBUHAN AKHLAK

BAB I PENDAHULUAN
Melacak sejarah pertumbuhan dan perkembangan akhlak (etika) dalam pendekatan bahasa sebenarnya sudah dikenal manusia di muka bumi ini. Yaitu, yang dikenal dengan istilah adapt istiadat (al-adalah/ tradisi) yang sangat dihormati oleh setiap individu, keluarga dan masyarakat.
Selama lebih kurang seribu tahun ahli-ahli fikir Yunani dianggap telah pernah membangun “kerajaan filsafat “, dengan lahirnya berbagai ahli dan timbulnya berbagai macam aliran filsafat. Para penyelidik akhlak mengemukakan, bahwa ahli-ahli semata-semata berdasarkan fikiran dan teori-teori pengetahuan, bukan berdasarkan agama.
Pada pembahasan sebelumnya kami telah membahas tentang pengertian akhlak dan tasauf. Sehingga pada pembahasan ini kami sebagai pemakalah akan menjelaskan tentang sejarah perkembangan akhlak pada zaman Yunani sampai Arab sebelum Islam.
BAB II PEMBAHASAN
  1. Sejarah Perkembangan Akhlak Pada Zaman Yunani
Diduga yang pertama kali yang mengadakan penyelidikan tentang akhlak yang berdasarkan ilmu pengetahuan ialah Bangsa Yunani. Ahli-ahli filsafat Yunani kuno tidak banyak memperhatikan pada akhlak, tetapi kebanyakan penyelidikannya mengenai alam, sehingga datangnya Sephisticians (500-450 SM). Arti dari Sephisticians adalah orang yang bijaksana. (Sufisem artinya orang-orang bijak). Pada masa itu kata akhlak terungkap dengan kata etika dengan arti yang sama.
Golongan ahli-ahli filsafat dan juga menjadi guru yang tersebar di beberapa Negeri. Buah pikiran dan pendapat mereka berbeda-beda akan tetapi tujuan mereka adalah satu, yaitu menyiapkan angkatan muda bangsa Yunani, agar menjadi Nasionalis yang baik lagi merdeka dan mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah airnya.
Pandangan tentang kewajiban-kewajiban ini menimbulkan pandangan mengenai sebagian tradisi lama dan pelajaran-pelajaran yang dilakukan oleh orang-orang dahulu, yang demikian itu tentu membangkitkan kemarahan kaum yang kolot “conservative”. Kemudian datang filsafah yang lain dan iapun menentang sekaligus mengecam mereka, dan iapun menuduh dan suka memutar balikan kenyataan. Oleh sebab itu buruklah nama mereka, meskipun terkadang ada diantara mereka lebih jauh pandangannya pada zamanya.[1]
Diantara sekian banyak ahli-ahli fikir Yunani yang menyingkapkan pengetahuan akhlak, di sini dikemukakan beberapa diantaranya yang dipandang terkemuka:
  1. a. Socrates (469-399 SM), terkenal dengan semboyan: “ Kenalilah diri engkau dengan diri engkau sendiri”. Dia dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak Yunani yang pertama. Usahanya membentuk pergaulan manusia-manusia. Dengan dasar ilmu pengetahuan.[2]“ Cynics dan Cyrenics” kedua pengikut Socrates. Untuk golongan <span>Cynics</span> hidup pada tahun (444-370 SM) diantara pelajarannya bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan dan sebaik-baiknya manusia itu yang berperangai dengan akhlak ketuhanan. Pemimpinya adalah Diogenes yang meninggal tahun 323 SM. Ia memberi pelajaran kepada kawan-kawannya supaya membuang beban yang ditentukan oleh ciptaan manusia dan perannya. Untuk golongan <span>Cyrenics </span>pemimpinya adalah Aristippus dilahirkan di Cyrena (kota di Barkah) di Utara Afrika. Golongan ini berpendapat bahwa mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan ialah satu-satunya tujuan yang benar untuk hidup, dan perbuatan itu dinamai utama bila timbul kelezatan yang lebih besar dari kepedihan. Adapun CynicsCyrenics berpendapat bahwa kebahagiaan itu dalam mencari kelezatan dan mengutamakannya.[3] berpendapat bahwa kebahagiaan itu menghilangkan kejahatan dan menguranginya sedapat mungkin. Tetapai Sehingga Ia berpendapat bahwa akhlak dan bentuk perhubungan itu tidak menjadi benar kecuali bila didasarkan kepada ilmu pengetahuan, sehingga ia berpendapat bahwa “ keutamaan adalah ilmu”. Tetapi sesuatu hal yang tidak jelas dalam ilmu Akhlaknya Socrates, apa tujuan yang terakhir dari akhlak itu serta ukuran apa yang dipergunakan menentukan baik buruknya suatu akhlak. Maka disini timbullah beberapa golongan yang berbeda-beda pendapatnya tentang tujuan akhlak, lalu muncul beberapa paham mengenai akhlak sejak zaman itu hingga sekarang ini.
  2. Plato (427-347 SM), seorang filsafat Athena dan murid dari Socrates, bukunya yang terkenal adalah “Republic”. Ia membangun ilmu akhlak melalui akademi yang ia dirikan. Pandangannya dalam akhlak berdasar dari “teori contoh” bahwa di balik alam ini ada alam rohani sebagai alam yang sesungguhnya.[4] Dan di alam rohani ini ada kekuatan yang bermacam-macam, dan kekuatan itu timbul dari pertimbangan tunduknya kekuatan pada hokum akal, ia pun berpendapat bahwa pokok-pokok keutamaan ada empat antara lain hikmah/kebijaksanaan, keberanian, keperwiraan dan keadilan. Keempat-empatnya itu adalah tiang penegak bangsa-bangsa dan perseorangan.
  3. Aristoteles (9394-322 SM), dia murid Plato yang membangun suatu paham yang khas, yang mana pengikutnya diberi nama dengan “Paripatetics”karena mereka memberikan pelajaran sambil berjalan. Dan ia berpendapat bahwa tujuan terakhir yang dikehendaki manusia mengenai segala perbuatannya ialah “bahagia” ia berpendapat bahwa jalan mencapai kebahagiaan ialah mempergunakan jalan mencapai kebahagiaan ialah mempergunakan kekuatan akal pikiran sebaik-baiknya. Selain itu  Aristoteles ialah pencipta teori serba tengah tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah diantara kedua keburukan, seperti dermawan adalah tengah-tengah antar membabi buta dan takut.
Pada akhir abad yang ketiga Masehi tersiarlah kabar Agama Nasrani di Eropa. Agama itu dapat merubah pikiran manusia dan membawa pokok-pokok akhlak yang tercantum di dalam Taurat. Demikan juga memberi pelajaran kepada manusia bahwa Tuhan sumber segala akhlak. Tuhan yang memberi segala patokan yang harus kita pelihara Dalam bentuk perhubungan kita, dan yang menjelaskan arti baik dan buruk, baik menurut arti yang sebenarnya ialah kerelaan Tuhan dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Menurut para ahli filsafat Yunani bahwa pendorong untuk melakukan perbuatan baik dan ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan; menurut Agama Nasrani bahwa pendorong untuk melakukan perbuatan baik itu ialah cinta kepada Tuhan dan iman kepada-Nya.[5]
B.  Sejarah   Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad pertengahan)
Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu gereja berusaha memerangi filsafat Yunani srta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa yang  telah diperintahkan oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh kerana itu tidak ada artinya lagi penggunaan akal dan pikiran untuk kegiatan penelitian. Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan doktrin uang dikeluarkan oleh gereja, atau memilki perasaan dan menguatkan pendapat gereja. Diluar ketentuan sperti itu penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Namun demikian sebagai dari kalangan gereja ada yang mempergunakan pemikiran Plato, Arostoteles dan Stoics untuk memperkuat ajaran gereja, dan mencocokkannya dengan akal. Filsafat yang menentang Agama Nashrani dibuang jauh-jauh.
Dengan demikian ajaran  akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran Nashrani. Diantara merka yang termasyhur ialah Abelard,, sorang ahli filsafat Perancis (1079-1142) dan Thomas Aquinas, seorang ahli filsafat Agama berkebangsaan Italia (1226-1274).
Corak ajaran akhlak yang sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran agama itu, nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat dalam Islam sebagaimana terlihat pada pemikiran aklhlak yang dikemukakan kaum Muktazilah.
  1. Sejarah Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum Islam
Bangsa Arab pada Zaman Jahiliyah tidak ada yang menonjol dalam segi filsafat sebagaimana Bangsa Yunani (Socrates, Plato dan Aristoteles), Tiongkok dan lain-lainnya. Disebabkan karena penyelidikan akhlak terjadi hanya pada Bangsa yang sudah maju pengetahuannya. Sekalipun demikian, Bangsa Arab waktu itu ada yang mempunyai ahli-ahli hikwah yang menghidangkan syair-syair yang mengandung nilai-nilai akhlak, misalnya: Luqman el-hakim, Aktsan bin Shoifi, Zubair bin Abi Sulma dan Hotim al-Thoi.
Adapun sebagian syair dari kalangan Bangsa Arab diantaranya: Zuhair ibn Abi Salam yang mengatakan: ”barang siapa menepati janji, tidak akan tercela; barang siapa yang membawa hatinya menunjuka kebaikan yang menentramkan, tidak akan ragu-ragu”. Contoh lainnya, perkataan Amir ibnu Dharb Al-Adwany ”pikiran itu tidur dan nafsu bergejolak. Barang siapa yang mengumpulkan suatu antara hak dan batil tidak akan mungkin terjadi dan yang batil itu lebih utama buatnya. Sesungguhnya penyelesaian akibat kebodohan”.
Simak apa yang dikatakan Aktsam ibn Shaify yang hidup pada zaman jahiliah dan kemudian masuk Islam. Ia berkata: ”jujur adalah pangkal keselamatan; dusta adalah merusakkan: kejahatan adalah merusakkan; ketelitian adalah sarana menghadapi kesulitan; dan kelemahan adalah penyebab kehinaan. Penyakit pikiran adalah nafsu, dan sebaik-baiknya perkara adalah sabar. Baik sangka merusak, dan buruk sangka adalah penjagaan”.
Al-Adwany pernah berpesan kepada anaknya Usaid dengan sifat-sifat terpuji, ujarnya: ’Berbuatlah dermawan dengan hartamu, Memuliakan tetanggamu, bantulah orang yang meminta pertolongan padamu, hormatilah tamumu dan jagalah dirimu dari perbuatan meminta-minta sesuatu pada orang lain”.
Dengar pula apa yang yang dikatan Amr ibn Al-Ahtam kepada budaknya:”Sesungguhnya kikir itu merupakan perangai yang akurat untuk lelaki pencuri; bermurahlah dalam cinta karena sesungguhnya diriku dalam kedudukan suci dan tinggi adalah orang yang belah kasih.setiap orang mulia akan takut mencelamu, dan bagi kebenaran memiliki jalanya sendiri bagi orang-orang yang baik.
Dapat dipahami bahwa bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki kadar pemikiran yang minimal pada bidang akhlak, pengetahuan tentang berbagai macam keutamaan dan mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-syairnya belum sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh filosof-filosof Yunani kuno. Dalam syariat-syariat mereka tersebut saja sudah ada muatan-muata akhlak.
Memang sebelum Islam, dikalangan bangsa Arab belum diketahui adanya para ahli filsafat yang mempunyai aliran-aliran tertentu seperti yang kita ketahui pada bangsa Yunani, seperti Epicurus, Plato, zinon, dan Aristo, karena penyelidikan secara ilmiah tidak ada, kecuali sesudah membesarnya perhatian orang terhadap ilmu kenegaraan.[7]
Setelah sinar Islam memancar, maka berubahlah suasana laksana sinar matahari menghapuskan kegelapan malam, Bangsa Arab kemudian tampil maju menjadi Bangsa yang unggul di segala bidang, berkat akhlakl karimah yang diajarkan Islam.[8]
Diantara ayat Al-Qur’an tentang akhlak yaitu:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. ( QS. An-Nahl: 90)
BAB III KESIMPULAN
  • Sejarah Perkembangan Akhlak Pada Zaman Yunani
Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak. Karena ia yang pertama berusaha dengan sungguh-sungguh membentuk perhubungan manusia dengan ilmu pengetahuan. Dia berpendapat akhlak dan bentuk perhubungan itu, tidak menjadi benar kecuali bila didasarkan ilmu pengetahuan.
Lalu datang Plato (427-347 SM). Ia seorang ahli Filsafat Athena, yang merupakan murid dari Socrates. Buah pemikirannya dalam Etika berdasarkan ‘teori contoh’. Dia berpendapat alam lain adalah alam rohani. Di dalam jiwa itu ada kekuatan bermacam-macam, dan keutamaan itu timbul dari perimbangan dan tunduknya kepada hukum.
Kemudian disusul Aristoteles (394-322 SM), dia adalah muridnya plato. Pengukutnya disebut Peripatetis karena ia memberi pelajaran sambil berjalan atau di tempat berjalan yang teduh
  • Sejarah   Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad pertengahan)
Pada abad pertengahan, Etika bisa dikatakan ‘dianiaya’ oleh Gereja. Pada saat itu, Gereja memerangi Filsafat Yunani dan Romawi, dan menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno.
Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah diterima dari wahyu. Dan apa yang terkandung dan diajarkan oleh wahyu adalah benar. Jadi manusia tidak perlu lagi bersusah-susah menyelidiki tentang kebenaran hakikat, karena semuanya telah diatur oleh Tuhan.
  • Sejarah Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum Islam
Bangsa Arab pada zaman jahiliah tidak mempunyai ahli-ahli Filsafat yang mengajak kepada aliran atau faham tertentu sebagaimana Yunani, seperti Epicurus, Zeno, Plato, dan Aristoteles.
Hal itu terjadi karena penyelidikan ilmu tidak terjadi kecuali di Negara yang sudah maju. Waktu itu bangsa Arab hanya memiliki ahli-ahli hikmat dan sebagian ahli syair. Yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, mendorong menuju keutamaan, dan menjauhkan diri dari kerendahan yang terkenal pada zaman mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar