Rika Al_Syafe'i

Rabu, 22 September 2010

MAKALAH ISD

BAB I PENDAHULUAN
Kita tidak dapat memungkiri bahwasannya hidup di masyarakat memang tidak semudah membalik telapak tangan. Di sana terdapat berbagai perbedaan yang dipengaruhi oleh situasi geografis, ekonomis serta masalah politis. Salah satunya adalah terjadinya pergolakan dan perubahan struktur masyarakat (social structure) yang mengatur kedudukan dan peranan pelaku sosial sehingga tercipta masyarakat yang seolah-olah bersap-sap dari atas ke bawah. Kalau kita amati maka pada setiap kelompok masyarakat pasti ada beberapa orang yang dihormati dan terkadang ada juga yang diremehkan keberadaannya. Akan tetapi masyarakat dunia sekarang ini tidak henti-hentinya memperjuangkan kesamaan derajat, kelayakan martabat manusia dan persamaan hak dalam mengusahakan kemajuan sosial. Oleh karena itu, perlu penjelasan tentang pelapisan sosial dan persamaan derajat, elite dan massa, baik dalam kegiatan maupun cita-cita atau hubungan antara keduanya. Agar tercipta rekonstruksi masyarakat yang terhindar dari konflik dan kesenjangan sosial yang menghambat laju pembangunan pada masyarakat tersebut.
BAB II PEMBAHASAN PELAPISAN SOSIAL DAN KESAMAAN DERAJAT A. Pelapisan Sosial (Stratifikasi Sosial) Stratifikasi berasal dari kata ‘stratus’ yang artinya lapisan, sehingga stratifikasi sosial berarti ‘lapisan masyarakat’. Sebab asasi mengapa ada pelapisan sosial dalam masyarakat bukan saja karena ada perbedaan, tetapi karena kemampuan manusia menilai perbedaan itu dengan menerapkan berbagai kriteria yang biasanya dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan sosial, seperti: 1. Ukuran kekayaan; barang siapa yang mempunyai kekayaan paling banyak, termasuk ke dalam lapisan sosial tertentu. 2. Ukuran kekuasaan; barang siapa yang memiliki kekuasaan atau wewenang terbesar, menempati lapisan teratas. 3. Ukuran kehormatan; orang yang palin disegani dan dihormati, menduduki lapisan teratas. 4. Ukuran ilmu pengetahuan; ukuran ini terkadang menyebabkan hal-hal negatif, karena ternyata bukan ilmu yang dijadikan ukuran tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah tentu hal itu mengakibatkan segala macam usaha untuk mendapatkan gelar sarjana walaupun dengan cara tidak halal. Ukuran di atas tidaklah bersifat liminatif (terbatas) karena pada hakikatnya kriteria pelapisan sosial tergantung pada sistem nilai yang dianut oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Dalam kehidupan pada umumnya stratifikasi dibagi menjadi 2 (dua) golongan: 1. Stratifikasi Terbuka : Anggota kelompok yang satu ada kemungkinan untuk berpindah ke kelompok lain, artinya dapat menurun ke kelompok yang lebih rendah atau sebaliknya. Contoh: kedudukan presiden. 2. Stratifikasi Tertutup: Kemungkinan pindah seorang anggota kelompok dari golongan satu ke golongan yang lain kecil sekali, sebab didasarkan pada keturunan. Contoh: anak dari keturunan Brahmana akan tetap menjadi Brahmana dan sebaliknya golongan Sudra. B. Kelas Status Sosial dan Kelompok Kedudukan sebagai Dimensi Pelapisan Sosial Karl Max beranggapan, bahwa masyarakat dan kegiatannya pada dasarnya merupakan alat-alat yang terorganisasi agar manusia dapat tetap hidup. Jadi kelas dalam hal ini digunakan dalam rangka ekonomi, dan berada dalam pertentangan untuk berebut kekuasaan. Pada prinsipnya kelas adalah menggolongkan manusia yang tidak terang batas-batasnya dan hanya memperlihatkan sifat golongan. Di sini lebih menitikberatkan keadaan milik perseorangan daripada persekutuan atau tindakan bersama. Demikian Aristoteles membedakan kelas kaya, menengah, dan kelas miskin. Ada lagi kelas tani, kelas pekerja bebas, kelas pengusaha, dan sebagainya. Kedudukan berbeda dengan kelas. Dalam setiap kelompok masyarakat setiap individu pasti memiliki kedudukan sosial (status group) yaitu lapisan yang berdasarkan atas kehormatan masyarakat dalam pergaulan hidupnya. Jadi, kelas dan kedudukan memiliki hubungan timbal-balik yang erat karena status/kedudukan berasal dari kelas, dan dalam perkembangan keduanya cenderung bersatu walaupun dapat dibedakan secara analitis. Contoh: Organisasi buruh tani atau pegawai pemerintah berusaha meningkatkan efisiensi organisasinya, bersamaan dengan kegiatan memanipulasikan lambang-lambang kedudukan atau status. C. Teori Fungsional Davis dan Moore (1945) melihat bahwa pelapisan sosial mempunyai fungsi karena pelaku sosial dalam setiap masyarakat perlu disebar dalam kedudukan dalam suatu pola masyarakat. Dalam kedudukan-kedudukan tersebut pelaku sosial mempunyai tugas dan memperoleh ganjaran dengan cara-cara tertentu. Perbedaan martabat disebabkan oleh 2 (dua) faktor, yaitu: 1. Perbedaan pentingnya fungsi kedudukan. 2. Perbedaan kelangkaan orang yang dapat menempati kedudukan sehubungan dengan tuntutan peranan dari kedudukan. Dengan sendirinya kedudukan yang lebih penting dan fungsional dalam struktur sosial mempunyai tingkatan yang lebih tinggi berdasarkan bakat atau pendidikan yang sulit didapat. Sehingga diperlukan penempatan dan penentuan alokasi imbalan sesuai dengan posisi dan tanggung jawab kolektif yang dibebankan atau dipercayakan sehingga seluruh sistem berjalan secara fungsional dan efektif. D. Elite dan Massa Menurut T.B. Bottomore dalam bukunya yang berjudul Elites and Society, istilah ‘elite’ pertama kali digunakan dalam abad ke-17 untuk menyebut barang-barang dagangan yang mempunyai keutamaan khusus. Istilah tersebut kemudian digunakan untuk menyebutkan kelompok-kelompok sosial tinggi seperti kesatuan-kesatuan militer atau kalangan bangsawan atas. Definisi elite bertitik tolak dari adanya ketidaksamaan bakat-bakat individual dalam setiap lapisan kehidupan sosial. Lapisan sosial yang lebih tinggi dari kelompok-kelompok tertentu. Dalam zaman modern, kelompok elite selalu berhubungan erat dengan masyarakat melalui suatu sub-elite, yaitu suatu kelompok yang lebih besar meliputi seluruh “kelas menengah baru” terdiri atas pegawai negeri, manajer, karyawan, ilmuwan, kaum terpelajar dan intelektual. Massa yang dimaksudkan di sini bukanlah orang banyak yang berkerumun di suatu tempat tertentu, tetapi kumpulan orang yang mengikuti kejadian dan peristiwa yang penting yang bersatu dalam suatu pengaruh yang amat kuat. Misalnya, massa dapat mendorong suatu partai politik untuk memenangkan pemilihan umum atau dapat pula melumpukannya, tergantung dari pendirian massa tersebut. Setelah memahami konsep dasar tentang elite dan massa, maka selanjutnya akan dibahas tentang peran kaum elite terhadap massa. Dalam kajian ini elite didefinisikan pada mereka yang mempunyai pengaruh besar di dalam massa (masyarakat). Pandangan elite yang lebih penting adalah loyalitas rakyat padanya. Elite atau pejabat lebih menampilkan diri mereka sebagai penakluk, atau bagaimana menciptakan suatu kondisi sehingga rakyat atau massa tunduk kepadanya. Elite sebagai minoritas yang memiliki kualifikasi tertentu yang eksistensinya sebagai kelompok penentu dan berperan dalam masyarakat diakui secara legal oleh masyarakat pendukungnya. Dalam hal ini kita melihat elite sebagai kelompok yang berkuasa dan kelompok penentu. E. Kesamaan Derajat Kesamaan derajat sebagai cita-cita, dalam kenyataannya menghadapi struktur masyarakat yang menyangkut perubahan kedudukan golongan-golongan sosial, mempunyai peranan dan kekuasaan dalam menentukan arah perubahan terutama mengenai persamaan derajat dan kesamaan nilai kepribadian manusia. Di lain pihak, kita pun melihat kontradiksi dari prinsip semacam itu pada zaman modern ini, kenyataan ini memberikan dorongan timbulnya pandangan yang menawarkan perlindungan HAM dan kemerdekaan dasar individu. Baik dari masyarakat Barat maupun dari masyarakat Timur (Islam). Masyarakat Barat dengan pendekatan “antroposentris” dimana manusia merupakan ukuran terhadap segala sesuatu. Dalam hal ini kebudayaan Barat mempunyai beberapa nilai utama yaitu demokrasi, institusi sosial dan kesejahteraan ekonomi, berpokok pangkal pada penghargaan mutlak terhadap manusia. Sedangkan perspektif Timur (Islam) bersifat “Teosentris” dimana Tuhan adalah Dzat yang Maha Tinggi dan manusia untuk mengabdi pada-Nya. Dalam hal ini agama sangat berperan terutama larangan dan perintah-Nya yang ditekankan di dalam Al-Qur'an berupa transformasi dari kualitas kesadaran manusia. Pandangan “antroposentris” dan “teosentris” semuanya adalah cita-cita tentang kesamaan derajat atau persamaan sosial yang menawarkan diri untuk mengatasi ketimpangan sosial dalam tatanan masyarakat. Namun, gerakan persamaan sosial dari kedua pandangan tersebut pada umumnya sulit menghindar dari kenyataan. Teori bahwa pembagian kelas dalam masyarakat merupakan syarat mutlak dalam organisasi sosial, sering digunakan sebagai pembenaran ideologis untuk mempertahankan ketimpangan sosial. Menghadapi teori fungsional berarti usaha melenyapkan atau mengubah pembagian kelas akan sia-sia. KESIMPULAN Meskipun masyarakat terbagi menurut kelas dan status sosial serta perbedaan kedudukan, sebenarnya kita mempunyai kesamaan derajat cita-cita sebagai bangsa Indonesia yang tercermin dalam UUD 1945 pasal 27–30 berupa persamaan hak dalam hukum, pendidikan serta pemerintahan dan agama. Oleh karena itu janganlah masalah perbedaan itu menjadikan kesenjangan sosial yang menghambat laju pembangunan bangsa. DAFTAR PUSTAKA – Drs. M. Munandar Soelaeman. Ilmu Sosial Dasar. Bandung : PT. Refika Aditama, 2005. – Drs. H. Hartomo dan Dra. Arnisun Azis. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar