Rika Al_Syafe'i

Rabu, 01 September 2010

HUBUNGAN AGAMA ISLAM

HUBUNGAN AGAMA ISLAM

oleh Rika Rovikoh pada 01 September 2010 jam 10:40
DI MANA POSISI ANDA

KETIKA MELIHAT AGAMA ? Agama islam ada diantara normatif dan historian , tekstual dan kontekstual Agama dapat sebagai sasaran studi dan penelitian dalam hal ini sebagai berikut:

- misalnya berbagai hukum kekuarga berencana, tergantung persepsi - cara shollat yang berbeda dan sebagainya. -

Ada 5 bentuk gejala agama: 1. teks, naskah, sumber ajaran, dan simbol-simbol 2. Penganut , pemimpin, pemuka agama 3. Ritus ibadat, lembaga 4. alat-alat (mesjid, topi, jilbaba0

5. organisasi

Islam sebagai produk sejarah 1, Islam Syiah 2. Islam Sunni 3. Nadhatul Ulama                                                                                                                                                 4. Muhammadiyah                                                                                                                                                             5. Ahmadiyah                                                                                                                                                                       6. dll

AGAMA

Agama dalam bahasa adala religion , din, millah berarti

- pengakuan adanya hubungan manusia dengan yang gaib yang harus

dipatuhi - pengakuan adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia - Pengakuan pada sumber diluar diri manusia yang mempengaruhi

perbuatan manusia

- Kepercayaan pada kekuatan gaib



ISLAM SEBAGAI WAHYU

Al-Islam wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin SAW li sa’adati al- dunya wa al-akhirah Wahyu : al-Quran dan al-Sunnah Al-Quran dibahas dalam ulum al- Quran Al-Hadits dibahas dalam ulum al-Hadits.

Telah lahir banyak cabang ilmu berkaitan dengan Islam sebagai wahyu (fenomena

budaya); dan semuanya dapat menjadi objek kajian dan penelitian.



ISLAM SEBAGAI PRODUK SEJARAH



Islam Syi’ah, Islam Sunny, Islam NU, Islam Muhammadiyah, dan Islam

Ahmadiyah adalah Islam produk sejarah

Seluruh bangunan sejarah Islam klasik, pertengahan dan modern, adalah produk

sejarah. Corak dan wajah Islam di berbagai belahan dunia adalah produk sejarah.

Ilmu kalam, fiqih, Ushul fiqh, akhlak, tashawuf adalah produk sejarah. Semua itu

produk sejarah dan dapat dijadikan sebagai objek penelitian.



BIDANG ILMU & WILAYAH KAJ IAN ISLAM



Bidang keilmuan Islam di PTAI, menurut KMA No. 110/1982, ada 8 ilmu, yang

dikembangkan lagi menjadi 16 bidang keahlian (KMA No. 27/ 1995) sebagai

berikut:

1. Al-Quran dan Hadis (prodi Tafsir-Hadis) 2. Pemikiran dalam Islam (prodi Akidah- Filsafat). 3. Fiqh (Hukum Islam) dan Pranata Sosial (prodi Ahwal syakhsyiah,                                                                   Muamalah, Jinayah-Siyasah, dan Perbandingan Mazhab & Hukum) 4. Sejarah dan Peradaban Islam (prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam). 5. Bahasa dan Sastra Arab (prodi: Bahasa dan Sastra Arab dan PendidikanBahasa Arab).                                                             6. Pendidikan Islam (prodi Pendidikan Agama Islam dan Kependidikan                                                                      7. Dakwah Islamiah dan Perbandingan Agama (prodi: Komunikasi dan Penyiaran Islam, Pengembangan Masyarakat Islam, Manajemen Dakwah, Bimbingan dan Penyuluhan Islam, dan Perbandingan Agama)                                                                                                            8. Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam (prodi Akidah dan Filsafat­)



Hubungan agama-negara dalam pandangan Islam harus didasarkan pada Aqidah Islamiyah, bukan aqidah yang lain. Aqidah Islamiyah telah memerintahkan penerapan agama secara menyeluruh, yang sangat membutuhkan eksistensi negara. Jadi, hubungan agama dan negara sangatlah eratnya, karena agama (Islam) tanpa negara tak akan dapat terwujud secara sempurna dalam kehidupan.



Hubungan ini secara nyata akan dapat diwujudkan jika berdiri negara Khilafah Islamiyah, yang pendiriannya merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin. Tanpa Khilafah, agama dan negara akan terpisah dan terceraikan, yang pada gilirannya akan mengakibatkan lenyapnya penerapan sebagian besar ajaran Islam. Dalam keadaan tanpa Khilafah, menerapkan Islam secara sempurna dan menyeluruh adalah utopia, ibarat mimpi di siang bolong.



Hubungan Agama dan Negara Menurut Islam

Setidaknya terdapat tiga pandangan hubungan agama-negara, sesuai dengan ketiga ideologi yang ada di dunia dewasa ini; Sosialisme, Kapitalisme, dan Islam,.

<span>Pertama</span>, agama tidak mendapat tempat sama sekali dalam kehidupan bernegara. Sebab agama dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya bagaikan candu bagi masyarakat. Agama dipandang sebagai ilusi belaka yang diciptakan kaum agamawan yang berkolaborasi dengan penguasa borjuis, dengan tujuan untuk meninabobokkan rakyat sehingga rakyat lebih mudah ditindas dan dieksploitir. Agama dianggap khayalan, karena berhubungan dengan hal-hal gaib yang non-empirik. Segala sesuatu yang ada, dalam pandangan ini, adalah benda (materi) belaka. Inilah pandangan ideologi Sosialisme yang telah diadopsi oleh negara-negara sosialis seperti Uni Soviet, RRC, dan sebagainya.

<span>Kedua</span>, agama terpisah dari negara. Pandangan ini tidak menafikan agama, tetapi hanya menolak peran agama dalam kehidupan publik. Agama hanya menjadi urusan pribadi antara manusia dengan Tuhan, atau sekedar sebagai ajaran moral atau etika bagi individu, tetapi tidak menjadi peraturan untuk kehidupan bernegara dan bermasyarakat, seperti peraturan untuk sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sebagainya. Pandangan ini dikenal dengan Sekularisme, yang menjadi asas ideologi Kapitalisme yang dianut negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa serta negara-negara lain pengikut mereka.

<span>Ketiga</span>, agama tidak terpisah dari negara, sebab agama mengatur segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya aspek politik dan kenegaraan. Agama bukan sekedar urusan pribadi atau ajaran moral yang bersifat individual belaka, melainkan pengatur bagi seluruh interaksi yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya, baik interaksi manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, maupun manusia yang satu dengan manusia yang lain. Keberadaan negara bahkan dipandang sebagai syarat mutlak agar seluruh peraturan agama dapat diterapkan. Inilah pandangan ideologi Islam, yang pernah diterapkan sejak Rasulullah SAW berhijrah dan menjadi kepala negara Islam di Madinah hingga hancurnya Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924. (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Nizhamul Islam, hal. 24-26; juga Abdul Qadim Zallum, Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufur, hal. 39-40).

Islam adalah agama yang telah sempurna lagipula menjelaskan segala sesuatu. Artinya, Islam telah menjangkau dan menerangkan peraturan untuk semua perbuatan manusia dalam segala aspek kehidupannya, secara sempurna dan menyeluruh, termasuk di dalamnya aspek kenegaraan. Allah SWT berfirman :

"Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian ni'mat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian." (QS. Al Maa`idah 3)

Allah SWT berfirman :

"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS. An Nahl 89).

Walhasil, Islam tidak pernah melalaikan dan mendiamkan satu pun perbuatan manusia, apalagi aspek kenegaraan yang sangat berpengaruh atas masyarakat luas. Mengatakan Islam tidak punya konsep negara, sama saja menganggap Islam tidak sempurna. Tentu saja, kesempurnaan Islam tidak berarti semua hukum-hukumnya sudah tersedia secara instan seperti ensiklopedi atau buku pintar, sehingga tinggal diterapkan begitu saja. Tidak demikian, sebab terkadang Islam menjelaskan suatu perbuatan dengan nash Al Qur`an dan As Sunnah, dan terkadang dengan menetapkan amaarah (tanda/isyarat) dalam Al Qur`an dan As Sunnah yang menunjukkan suatu status hukum. Untuk yang kedua ini, kaum muslimin tidak bisa hanya berpangku tangan, tetapi harus mengerahkan daya pikir untuk berijtihad guna mengetahui hukum-hukumnya (Lihat Abdul Qadim Zallum, idem, hal. 32-33).

Berdasarkan keyakinan akan kesempurnaan Islam itu, wajarlah jika para ulama yang terpercaya menyusun formulasi hubungan agama-negara secara tepat, yakni sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Abdul Qadir 'Audah, misalnya, menerangkan bahwa Islam adalah agama yang menyeluruh, yang di dalamnya tercakup aspek kenegaraan. Beliau mengatakan :

"Islam itu bukanlah sekedar agama (ritual) belaka, akan tetapi ia adalah agama dan (di antaranya adalah) negara. Dan sudah menjadi tabi'at agama Islam, bahwa dia itu mempunyai negara untuk melaksanakan Islam..." (Lihat Abdul Qadir 'Audah, Al Islam wa Audla'una As Siyasiyah, hal. 19)

 Muhammad Al Ghazali menjelaskan hubungan erat agama-negara dengan mengatakan :

"Islam tanpa negara adalah bagaikan pohon tanpa buah, atau bagaikan tubuh tanpa nyawa." (Lihat M Al Ghazali, Ma'rakat Al Mushhaf, hal. 68)

 Sementara itu Imam Al Ghazali menyatakan bahwa agama dan kekuasaan (baca:negara), adalah bagaikan saudara kembar, serta saling membutuhkan satu sama lain. Jadi, keduanya tak terpisahkan. Beliau mengatakan :

"...Oleh karena itu, dikatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah bagaikan dua saudara kembar. Dikatakan pula, bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi akan runtuh, sedang segala sesuatu yang tidak berpenjaga akan hilang lenyap." (Lihat Imam Al Ghazali, Al Iqtishad fil I'tiqad, hal. 199)

Selain itu, tak sedikit ulama yang menerangkan, bahwa keberadaan negara Islam sangatlah mutlak demi terlaksananya beranekaragam hukum yang memang tak akan dapat berjalan tanpa negara, seperti ahkam jina`iyah (sanksi-sanksi pidana) misalnya qishash, ahkam maaliyah (aspek keuangan dan perekonomian) misalnya pengumpulan dan pendistribusian zakat, ahkam dauliyah (hubungan internasional) misalnya jihad dan cabang-cabang hukumnya seperti pembagian ghanimah dan penebusan tawanan perang, dan ahkam dusturiah (aspek pemerintahan) misalnya hak dan kewajiban dari penguasa dan rakyat. Muhammad bin Al Mubarak, misalnya, berkata :

"Al Qur`an mengandung hukum-hukum yang mustahil dapat diterapkan tanpa adanya pemerintahan dan negara (Islam), yang mengambil dan menerapkan hukum-hukum itu...Maka sesungguhnya mendirikan negara dan menjalankan tugas pemerintahan dan kekuasaan, adalah bagian substansial dari ajaran Islam. Islam tak akan tegak sempurna tanpa negara dan bahkan keislaman kaum muslimin pun tak akan sempurna tanpa negara." (Muhammad bin Al Mubarak, Al Hukmu wa Ad Daulah, hal. 11)

  Demikianlah sekelumit pandangan ulama yang mengungkapkan hubungan agama-negara menurut Islam. Jelas bahwa agama (Islam) memang tidak terpisah dari negara, sebab agama mengatur segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya aspek politik dan kenegaraan. Dengan kata lain, hubungan agama dan negara, adalah hubungan keseluruhan dengan sebagian dari keseluruhan itu. Namun kedudukan negara berbeda dengan bagian-bagian lain dari ajaran Islam. Kedudukan negara dipandang sangat urgen, karena pelaksanaan ajaran-ajaran Islam secara total, bertumpu pada keberadaan institusi negara. Karenanya, keberadaan negara merupakan syarat mutlak dan esensial, agar seluruh peraturan Islam dapat diterapkan secara kaffah tanpa mengecualikan yang satu dari lainnya.

Sejalan dengan pandangan di atas, maka sudah sewajarnya dan bahkan sudah seharusnya, bila Islam mewajibkan eksistensi negara yang bertugas menerapkan Islam secara total. Inilah negara Islam, atau dalam khazanah hukum Islam, dikenal dengan sebutan Khilafah atau Imamah. Dalam hal ini, seluruh ulama di sepanjang jaman telah sepakat bahwa mengangkat seorang Khalifah atau mendirikan Khilafah, adalah suatu kewajiban. Hanya segelintir saja yang mengatakan tidak wajib, dan itu pun dianggap sebagai pendapat yang tidak mu'tabar (tidak perlu dianggap), karena bertentangan dengan nash-nash syara'.

Syaikh Abdurrahman Al Jaziri dalam kitabnya Al Fiqh 'Ala Al Madzahib Al Arba'ah, juz 5, halaman 614 menegaskan :

"Para imam (yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah <span>fardlu</span>, dan bahwa kaum muslimin wajib mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syi'ar-syi'ar agama, dan menolong orang-orang yang dizhalimi..."

Bahkan kewajiban Khilafah tersebut bukan saja pegangan kaum Ahlus Sunnah, melainkan juga golongan-golongan lain. Imam Ibnu Hazm mengatakan :

"Seluruh golongan Ahlus Sunnah, Murji`ah, Syi'ah, dan Khawarij telah sepakat mengenai <span>kewajiban Imamah</span>, dan bahwa umat wajib mentaati Imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syari'at yang dibawa oleh Rasulullah SAW..." (Lihat Ibnu Hazm, Al Fashlu fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, juz 4, hal. 87)

Di antara segelintir orang yang menolak kewajiban Khilafah, misalnya An Najdaat dari golongan Khawarij, dan Al Asham. Tapi orang-orang semacam ini oleh Imam Al Qurthubi dianggap orang yang tuli dari syari'ah, yakni tidak mau mendengar kebenaran dari syari'at. Imam Al Qurthubi berkata :

"Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya perkara itu (yakni, kewajiban Khilafah) baik di antara umat maupun di antara para imam, kecuali pendapat Al Asham --yang tuli (Arab: "asham"=tuli) terhadap syari'at-- dan siapa saja yang mengambil dan mengikuti pendapatnya." (Lihat Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1, hal. 264)

Jelas, bahwa mendirikan negara Islam (Khilafah/Imamah) merupakan suatu kewajiban yang telah disepakati ulama di segala jaman (lihat Ensiklopedi Ijmak, Sa'di Abu Habieb, Terj. KH. A. Sahal Machfudz & H.A. Musthofa Bisri, Kata Pengantar KH. Abdurrahman Wahid, Pustaka Firdaus, hal. 312). Dan ini, merupakan bukti pula betapa erat dan padunya hubungan agama dengan negara. Agama dan negara tidak terpisahkan dalam Islam!

Pendapat Yang Batil

Berdasarkan uraian sebelumnya, kiranya kita dapat menilai dan memaklumi sejauh mana kualitas dan validitas dari pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh PKU, Golkar, PBB, PKB, PAN, dan PK di atas. Pendapat Dr. HM. Hidayat Nur Wahid (PK) dan Ahmad Sumargono (PBB), boleh dikata relatif "Islami", terbebas dari polusi ideologi Kapitalisme yang sekularistik itu. Sayang, kedua tokoh itu belum secara tuntas mengartikulasikan tipologi negara ideal yang menjadi cita-cita mereka. Tidak tegas menyebut Khilafah.

Pernyataan Asnawi Latief (PKU) bahwa Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara sekuler sebenarnya terjebak oleh tipologi negara yang dibuat oleh Barat, yakni seolah tipe negara cuma theokrasi dan demokrasi. Konsep negara theokrasi di Eropa --yang intinya adalah mendapatkan legitimasi dari Tuhan namun hukum dibuat oleh para tokoh gereja sendiri-- memang tidak bisa dibenarkan. Namun mengidentikkan negara Khilafah Islamiyyah sebagai theokrasi adalah kesalahan lain. Padahal Negara Khilafah Islamiyyah bukan theokrasi dan bukan demokrasi. Oleh karena itu, pernyataan tokoh PKU tersebut --disadari atau tidak-- bisa jatuh pada pengingkaran terhadap kewajiban Khilafah dalam Islam. Padahal beliau adalah tokoh partai dengan basis massa NU yang mengaku Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Ahlus Sunnah itu tidak pernah mengingkari kewajiban Khilafah (lihat Sa'di Abu Habieb, idem).

Pernyataan Slamet Effendy Yusuf (Partai Golkar) dan Hasballah M. Saad (PAN) setali tiga uang. Sama-sama sekularistik, menolak peran agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sangat disayangkan, kedua partai yang pendukungnya mayoritas muslim itu --disadari atau tidak-- kok malah menggiring massanya kepada ideologi Sekularisme!

Yang membuat kita geleng-geleng kepala adalah pendapat Alwi Shihab (PKB), yang mengambil pendapat Ali Abdur Raziq dalam kitabnya Al Islam wa Ushulul Hukm, yang sebenarnya ditulis demi kepentingan penjajah Inggris pada PD I untuk menghancurkan Khilafah. Kitab sekularistik itu ditulis antara 1915-1918 oleh Ali Abdur Raziq, yang selain seorang hakim peradilan agama Mesir, juga anggota partai Hizbul Ahraar Ad Dusturiyin (berdiri 1915). Partai ini adalah kepanjangan tangan partai Hizbul Ummah, yang dibentuk 1907 berdasarkan arahan penjajah Inggris melalui kaki tangannya, Lord Kromer (lihat Ismail Al Kailani, Fashluddin 'anid Daulah, Bab 2 Pasal 2).

Pada saat meletus PD I (1914), Khilafah Utsmaniyah berada pada pihak yang berperang melawan Inggris. Sementara di sisi lain, Inggris masih menjajah Mesir. Inggris takut, bila Mesir akan membantu Khilafah, karena Mesir masih memiliki ikatan spiritual yang kuat dengan Khilafah di Turki. Karena itu, Inggris berkepentingan untuk memutus habis ikatan antara Mesir dan Turki, sebagai langkah awal untuk menghancurkan Khilafah. Maka demi kepentingan Inggris yang kafir ini, tak heran bila dalam kitabnya Ali Abdur Raziq menganggap Khilafah itu sangat tidak sesuai dengan Islam, tidak memiliki landasan doktrin, hanya isapan jempol dan karangan ulama belaka, bahkan harus dibatalkan dan dihancurkan.

Dalam kitab itu Ali Abdur Raziq menuduh bahwa para ulama tidak tahu apa-apa tentang politik dan pemerintahan. Sebaliknya dia malah menunjukkan kekaguman yang sangat terhadap para orientalis yang kafir, seperti Thomas W. Arnold (Inggris).

Mereka yang mendalami kitab itu akan insyaf, bahwa asumsi dasar yang dipakai Ali Abdur Raziq, adalah asumsi yang bersumber dari agama Nashrani, yang memang secara ajaran telah memisahkan aspek agama dan negara, sesuai dengan bunyi Al Kitab (kitab suci mereka): "Berikanlah apa yang menjadi milik kaisar kepada kaisar, dan apa yang menjadi milik Tuhan kepada Tuhan." (Matius 22:21)

Khatimah

Jelaslah bahwa hubungan antara agama dengan negara dalam pandangan Islam adalah sangat erat. Bahkan hukum-hukum tentang ketatanegaraan adalah bagian dari ajaran Islam yang paling esensial dan penting. Dan sifat Rasululullah saw. (yakni risalah Islam) sebagai "Rahmatan lil Alamin" tak mungkin terwujud secara sempurna tanpa penerapan hukum-hukum Islam secara keseluruhan oleh negara Khilafah Islamiyyah yang sistemnya telah disunnahkan oleh Nabi Muhammad saw. (khilafah 'ala minhaaj an nubuwwah, lihat Musnad Imam Ahmad, hadits nomor 17680 dan 22335).

Oleh karena itu, setiap pendapat yang melepaskan hubungan antara agama Islam dengan negara (penerap sistemnya) adalah tidak wajar jika keluar dari seorang muslim, apalagi tokoh umat Islam. Sebab hal itu bertentangan dengan firman Allah SWT, Sunnah Nabi SAW, ijma' sahabat, serta kesepakatan para ulama kaum muslimin dari masa ke masa!

Na'uudzu billahi min dzaalik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar